Beranda | Artikel
Hakikat Cinta Nabi
Selasa, 27 Juli 2021

Allah سبحانه وتعالى telah mengutus Rasulullah ﷺ untuk menjelaskan kandungan makna syahadatain dan memerintahkan beliau ﷺ untuk memerangi manusia hingga bersaksi dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :

أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وأنَّ مُحَمَّدًا رَسولُ اللَّهِ، ويُقِيمُوا الصَّلَاةَ، ويُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذلكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأَمْوَالَهُمْ إلَّا بحَقِّ الإسْلَامِ، وحِسَابُهُمْ علَى اللَّهِ.

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai bersaksi, sesungguhnya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah (syahadatain), menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan hal tersebut, maka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka pada Allah. 1

Demikian juga Allah سبحانه وتعالى menjadikan ketaatan kepada Nabi ﷺ sebagai konsekwensi dari syahadatain dan jalan menuju kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Allah akan memberikan balasan Surga bagi orang-orang yang taat kepada beliau ﷺ .

Dijelaskan di dalam al Qur‘an surat an Nisaa‘ ayat 13, yang artinya: barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.

Ibnu Taimiyah رحمه الله menjelaskan, ketaatan kepada Allah dan RasulNya merupakan pokok kebahagian dan keselamatan.2 Karena, dengan diutusnya beliau ﷺ sebagai Rasul Allah, maka manusia dapat membedakan kebenaran dan kebatilan dalam seluruh perkaranya.

Demikian tinggi dan agungnya kedudukan Rasulullah ﷺ di sisi Allah, sehingga Allah mewajibkan kepada hamba-hambaNya beberapa hak dan kewajiban seputar beliau. Di antaranya, mencintai dan mengagungkannya melebihi diri hamba itu sendiri, bahkan melebihi kecintaan kita kepada orang lain selain beliau. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan, cinta kepada Raulullah ﷺ termasuk kewajiban terbesar dalam agama. 3

Disebutkan di dalam sabda beliau ﷺ :

لا يُؤْمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليه من والدِهِ ، وولدِهِ ، والناسِ أجمعينَ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia. 4

KEWAJIBAN MENCINTAI RASULULLAH5

Mencintai Rasulullah hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar dalam agama. Tidak sempurna iman seorang hamba, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan umat ini untukmencintai Rasulullah melebihi dirinya, keluarga, harta dan seluruh manusia. Allah berfirman :

﴿قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ِۨاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ ࣖ ﴾

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at Taubat : 24).

Al Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujjah untuk mewajibkan mencintai beliau ﷺ dan kelayakan beliau mendapatkan kecintaan tersebut, karena Allah menegur orang yang menjadikan harta, keluarga dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan RasulNya dan mengancam mereka dengan firmanNya:

فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ

(maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya), kemudian di akhir ayat, Allah menamakan mereka sebagai orang fasiq dan memberitahukan, bahwa orang tersebut termasuk sesat dan tidak mendapatkan petunjuk Allah.6

﴿اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ ﴾

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri (QS al Ahzab:6).

Ayat ini menunjukkan, orang yang tidak menjadikan Rasulullah ﷺ lebih utama dari dirinya sendiri, maka dia termasuk bukan mukmin. Hal inimenunjukkan, bahwa kewajiban mencintai Rasulullah ﷺ melebihi dirinya sendiri.

﴿ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙ ﴾

Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (QS al Baqarah : 165).

﴿ قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ﴾

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali Imran : 31).

Allah telah menjadikan ittiba’ (mengikuti RasulNya) sebagai bukti dan dalil kebenaran cinta Allah. Hal ini dapat diwujudkan, hanya setelah iman kepada Nabi ﷺ . Dan iman kepada beliau ﷺ harus terwujudkan syarat-syaratnya, di antaranya mencintai Nabi ﷺ , sebagaimana diberitakan Abu Hurairah :

فَوَ الَّذي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لا يُؤْمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليه من ولدِهِ ، ووالدِهِ ، والناسِ أجمعينَ

Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya. Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari anaknya dan orang tuanya. 7

Selain hadits Abu Hurairah ini, hadits-hadits yang memerintahkan demikian cukup banyak. Di antaranya seperti dalam hadits Umar bin Al Khaththab :

كُنَّا مع النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو آخِذٌ بيَدِ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ، فَقالَ له عُمَرُ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أحَبُّ إلَيَّ مِن كُلِّ شَيْءٍ إلَّا مِن نَفْسِي، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لَا، والَّذي نَفْسِي بيَدِهِ، حتَّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْكَ مِن نَفْسِكَ، فَقالَ له عُمَرُ: فإنَّه الآنَ، واللَّهِ، لَأَنْتَ أحَبُّ إلَيَّ مِن نَفْسِي، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: الآنَ يا عُمَرُ.

Kami bersama Nabi ﷺ , dan beliau dalam keadaan memegang tangan Umar bin Al Khaththab, lalu Umar berkata kepada beliau: “Wahai, Rasululah! Sungguhengkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku,” lalu Nabi ﷺ bersabda: “Tidak, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sampai aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri”. Lalu Umarpun berkata: “Sekarang, demi Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri,” lalu Nabi ﷺ bersabda: “Sekarang, wahai Umar!”8

Juga hadits Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda:

ثَلَاثٌ مَن كُنَّ فيه وجَدَ حَلَاوَةَ الإيمَانِ: أنْ يَكونَ اللَّهُ ورَسولُهُ أحَبَّ إلَيْهِ ممَّا سِوَاهُمَا، وأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ، وأَنْ يَكْرَهَ أنْ يَعُودَ في الكُفْرِ كما يَكْرَهُ أنْ يُقْذَفَ في النَّارِ.

Tiga hal, yang apabila seorang memilikinya, maka akan mendapatkan manisnya; orang yang menjadikan Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari selainnya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan orang yang benci pada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana benci dilemparkan ke Neraka. 9

Juga hadits yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik lainnya yang berbunyi:

أنَّ رَجُلًا مِن أهْلِ البَادِيَةِ أتَى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فَقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، مَتَى السَّاعَةُ قَائِمَةٌ؟ قالَ: ويْلَكَ! وما أعْدَدْتَ لَهَا؟ قالَ: ما أعْدَدْتُ لَهَا إلَّا أنِّي أُحِبُّ اللَّهَ ورَسولَهُ، قالَ: إنَّكَ مع مَن أحْبَبْتَ. فَقُلْنَا: ونَحْنُ كَذلكَ؟ قالَ: نَعَمْ. فَفَرِحْنَا يَومَئذٍ فَرَحًا شَدِيدًا،

Seorang penduduk badui menjumpai Rasulullah ﷺ dan bertanya: “Wahai, Rasulullah! Kapan hari Kiamat terjadi?” Beliau ﷺ menjawab,”Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?” Ia menjawab,”Aku tidak memiliki persiapan, kecuali aku mencintai Allah dan RasulNya,” maka Rasulullah bersabda,”Sungguh, engkau bersama orang yang engkau cintai.” Lalu kamiberkata: “Demikian juga kami?” Beliau ﷺ menjawab,”Ya.” Maka kamipun pada hari itu sangat berbahagia.

Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan lafadz:

 قالَ أَنَسٌ: فأنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، فأرْجُو أَنْ أَكُونَ معهُمْ، وإنْ لَمْ أَعْمَلْ بأَعْمَالِهِمْ.

Anas berkata: “Sungguh aku mencintai Allah, RasulNya, Abu Bakar dan Umar, lalu aku berharap bisa bersama mereka, walaupun aku belum beramal dengan amalan mereka”.10

Masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan wajibnya mencintai Rasulullah. Sehingga pantaslah bila Syaikhul Islam رحمه الله menyatakan, cinta Allah dan RasulNya termasuk kewajiban iman terbesar dan pokok, dan kaidah iman yang teragung. Bahkan ia merupakan landasan semua amalan iman dan agama.11

HAKIKAT CINTA RASULULLAH

Cinta Rasulullah ﷺ merupakan bagian dari cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah menuntut konsekwensi mencintai semua yang Allah cintai. Dan Allah mencintai nabi dan kekasihNya, Muhammad ﷺ . Sehingga, cinta kepada Rasulullah ﷺ merupakan cabang dan termasuk kecintaan kepada Allah.

Ibnul Qayyim menyatakan: “Semua kecintaan dan pengagungan kepada manusia diperbolehkan hanya karena ikut kepada kecintaan Allah dan pengagunganNya, seperti cinta dan pengagungan kepada Rasulullah ﷺ . Kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan mencintai dan mengagungkan Dzat yang mengutusnya, karena umatnya mencintai beliau ﷺ karena Allah mencintainya. Merekapun mengagungkan dan memuliakan beliau, karena Allah memuliakannya”.12

Dengan demikian, cinta kepada Rasulullah ﷺ mengharuskan kita mencontoh dan bersikap sama dengan Rasulullah ﷺ dalam segala hal yang dicintai dan dibencinya. Dan diwujudkan dalam ittiba’ (meniru) beliau ﷺ . Kita mencintai semua yang Rasulullah ﷺ cintai, dan membenci semua yang beliau ﷺ benci, ridha dengan semua yang beliau ridhai dan marah terhadap semua yang Rasulullah ﷺ marah padanya, serta mengamalkan semua tuntutan cinta dan benci tersebut dengan amal perbuatan.13

Kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah, dapat diwujudkan dengan hal-hal berikut.

  1. Mencintai beliau ﷺ di atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan seluruh manusia. Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ ﴾

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri (QS al Ahzab : 6).

Juga sabda Rasulullah ﷺ :

لا يُؤْمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليه من ولدِهِ ، ووالدِهِ ، والناسِ أجمعينَ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia, 14

Sehingga demi yang dicintainya, seseorang dituntut siap mengorbankan jiwa dan harta. Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ مَا كَانَ لِاَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِّنَ الْاَعْرَابِ اَنْ يَّتَخَلَّفُوْا عَنْ رَّسُوْلِ اللّٰهِ وَلَا يَرْغَبُوْا بِاَنْفُسِهِمْ عَنْ نَّفْسِهٖۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ لَا يُصِيْبُهُمْ ظَمَاٌ وَّلَا نَصَبٌ وَّلَا مَخْمَصَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَطَـُٔوْنَ مَوْطِئًا يَّغِيْظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُوْنَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهٖ عَمَلٌ صَالِحٌۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ ﴾

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang), dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah, karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS at Taubat :120).

  1. Membenarkan semua yang diberitakan Nabi ﷺ dari Allah, mentaati beliau ﷺ dalam semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya, serta beribadah hanya dengan syari’atnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Yang wajib bagi orang semisal mereka adalah, mengetahui bahwa kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah ﷺ hanya bisa terwujud dengan membenarkan seluruh berita beliau ﷺ dari Allah, mentaati perintah dan mencontoh beliau, serta mencintai dan loyal kepadanya, tidak mendustakan ajaran beliau ﷺ dan (tidak) berbuat syirik serta bersikap berlebihan terhadap beliau ﷺ . 15

Ini juga merupakan konsekwensi dari persaksian syahadat “asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluhu. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di dalam kitab al Ushuluts Tsalatsah menjelaskan, makna Syahadat ana Muhammadan Rasulullah adalah, mentaati beliau dalam semua perintahnya, membenarkan semua beritanya dan menjauhi semua larangannya, serta tidak beribadah kecuali dengan syari’atnya.16

  1. Melaksanakan semua konsekwensi dari cinta kepada Rasulullah ﷺ , baik berupa i’tikad, pernyataan ataupun amalan, sesuai dengan hak-hak Rasulullah yang Allah wajibkan kepada hati, lisan dan anggota tubuh, sehingga beriman dan membenarkan kenabian, kerasulan dan seluruh ajaran beliau ﷺ . Lalu melaksanakan kewajiban dengan segenap kemampuannya, berupa ketaatan, ketundukan kepada perintahnya dan meneladani sunnahnya . Allah berfirman:

﴿ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ ﴾

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS al Hasyr : 7).

Termasuk dalam hal ini, yaitu mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau, menolong dan membela beliau dari semua orang yang mengusik dan mengganggunya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat, dan berbicara kepada beliau dengan perkataan yang pantas, mengutamakan pendapat dan pernyataan beliau dari selainnya.17

SAHABAT & KECINTAAN KEPADA RASULULLAH

Para sahabat telah memperoleh kemulian berjumpa dengan Nabi ﷺ . Mereka melihat langsung keluhuran dan kemulian akhlak beliau. Mereka juga langsung menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ . Oleh karena itu, perlu kita lihat betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasululah ﷺ .

Banyak kisah tentang perwujudan cinta mereka kepada Rasulullah ﷺ . Di antaranya kisah perjalanan beliau ﷺ ke Hudaibiyah dan perjanjian Hudaibiyah yang disampaikan Imam al Bukhari dengan sangat panjang. Di antara isinya adalah :

فَبيْنَما هُمْ كَذلكَ إذْ جَاءَ بُدَيْلُ بنُ ورْقَاءَ الخُزَاعِيُّ في نَفَرٍ مِن قَوْمِهِ مِن خُزَاعَةَ، وكَانُوا عَيْبَةَ نُصْحِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن أهْلِ تِهَامَةَ، فَقالَ: إنِّي تَرَكْتُ كَعْبَ بنَ لُؤَيٍّ وعَامِرَ بنَ لُؤَيٍّ نَزَلُوا أعْدَادَ مِيَاهِ الحُدَيْبِيَةِ، ومعهُمُ العُوذُ المَطَافِيلُ، وهُمْ مُقَاتِلُوكَ وصَادُّوكَ عَنِ البَيْتِ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إنَّا لَمْ نَجِئْ لِقِتَالِ أحَدٍ، ولَكِنَّا جِئْنَا مُعْتَمِرِينَ، وإنَّ قُرَيْشًا قدْ نَهِكَتْهُمُ الحَرْبُ وأَضَرَّتْ بهِمْ، فإنْ شَاؤُوا مَادَدْتُهُمْ مُدَّةً، ويُخَلُّوا بَيْنِي وبيْنَ النَّاسِ، فإنْ أظْهَرْ: فإنْ شَاؤُوا أنْ يَدْخُلُوا فِيما دَخَلَ فيه النَّاسُ فَعَلُوا، وإلَّا فقَدْ جَمُّوا، وإنْ هُمْ أبَوْا، فَوَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ علَى أمْرِي هذا حتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِي، ولَيُنْفِذَنَّ اللَّهُ أمْرَهُ، فَقالَ بُدَيْلٌ: سَأُبَلِّغُهُمْ ما تَقُولُ. قالَ: فَانْطَلَقَ حتَّى أتَى قُرَيْشًا، قالَ: إنَّا قدْ جِئْنَاكُمْ مِن هذا الرَّجُلِ وسَمِعْنَاهُ يقولُ قَوْلًا، فإنْ شِئْتُمْ أنْ نَعْرِضَهُ علَيْكُم فَعَلْنَا، فَقالَ سُفَهَاؤُهُمْ: لا حَاجَةَ لَنَا أنْ تُخْبِرَنَا عنْه بشَيءٍ، وقالَ ذَوُو الرَّأْيِ منهمْ: هَاتِ ما سَمِعْتَهُ يقولُ، قالَ: سَمِعْتُهُ يقولُ كَذَا وكَذَا، فَحَدَّثَهُمْ بما قالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقَامَ عُرْوَةُ بنُ مَسْعُودٍ فَقالَ: أيْ قَوْمِ، ألَسْتُمْ بالوَالِدِ؟ قالوا: بَلَى، قالَ: أوَلَسْتُ بالوَلَدِ؟ قالوا: بَلَى، قالَ: فَهلْ تَتَّهِمُونِي؟ قالوا: لَا، قالَ: ألَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنِّي اسْتَنْفَرْتُ أهْلَ عُكَاظٍ، فَلَمَّا بَلَّحُوا عَلَيَّ جِئْتُكُمْ بأَهْلِي ووَلَدِي ومَن أطَاعَنِي؟ قالوا: بَلَى، قالَ: فإنَّ هذا قدْ عَرَضَ لَكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ، اقْبَلُوهَا ودَعُونِي آتِيهِ، قالوا: ائْتِهِ، فأتَاهُ، فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نَحْوًا مِن قَوْلِهِ لِبُدَيْلٍ، فَقالَ عُرْوَةُ عِنْدَ ذلكَ: أيْ مُحَمَّدُ، أرَأَيْتَ إنِ اسْتَأْصَلْتَ أمْرَ قَوْمِكَ، هلْ سَمِعْتَ بأَحَدٍ مِنَ العَرَبِ اجْتَاحَ أهْلَهُ قَبْلَكَ؟ وإنْ تَكُنِ الأُخْرَى، فإنِّي واللَّهِ لَأَرَى وُجُوهًا، وإنِّي لَأَرَى أوْشَابًا مِنَ النَّاسِ خَلِيقًا أنْ يَفِرُّوا ويَدَعُوكَ، فَقالَ له أبو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ: امْصُصْ ببَظْرِ اللَّاتِ، أنَحْنُ نَفِرُّ عنْه ونَدَعُهُ؟! فَقالَ: مَن ذَا؟ قالوا: أبو بَكْرٍ، قالَ: أمَا والذي نَفْسِي بيَدِهِ، لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لكَ عِندِي لَمْ أجْزِكَ بهَا لَأَجَبْتُكَ، قالَ: وجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَكُلَّما تَكَلَّمَ أخَذَ بلِحْيَتِهِ، والمُغِيرَةُ بنُ شُعْبَةَ قَائِمٌ علَى رَأْسِ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ومعهُ السَّيْفُ وعليه المِغْفَرُ، فَكُلَّما أهْوَى عُرْوَةُ بيَدِهِ إلى لِحْيَةِ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ضَرَبَ يَدَهُ بنَعْلِ السَّيْفِ، وقالَ له: أخِّرْ يَدَكَ عن لِحْيَةِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَرَفَعَ عُرْوَةُ رَأْسَهُ، فَقالَ: مَن هذا؟ قالوا: المُغِيرَةُ بنُ شُعْبَةَ، فَقالَ: أيْ غُدَرُ، ألَسْتُ أسْعَى في غَدْرَتِكَ؟! وكانَ المُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا في الجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ، وأَخَذَ أمْوَالَهُمْ، ثُمَّ جَاءَ فأسْلَمَ، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أمَّا الإسْلَامَ فأقْبَلُ، وأَمَّا المَالَ فَلَسْتُ منه في شَيءٍ. ثُمَّ إنَّ عُرْوَةَ جَعَلَ يَرْمُقُ أصْحَابَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بعَيْنَيْهِ، قالَ: فَوَاللَّهِ ما تَنَخَّمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نُخَامَةً إلَّا وقَعَتْ في كَفِّ رَجُلٍ منهمْ، فَدَلَكَ بهَا وجْهَهُ وجِلْدَهُ، وإذَا أمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أمْرَهُ، وإذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ علَى وَضُوئِهِ، وإذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وما يُحِدُّونَ إلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا له، فَرَجَعَ عُرْوَةُ إلى أصْحَابِهِ، فَقالَ: أيْ قَوْمِ، واللَّهِ لقَدْ وفَدْتُ علَى المُلُوكِ، ووَفَدْتُ علَى قَيْصَرَ، وكِسْرَى، والنَّجَاشِيِّ، واللَّهِ إنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أصْحَابُهُ ما يُعَظِّمُ أصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُحَمَّدًا؛ واللَّهِ إنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إلَّا وقَعَتْ في كَفِّ رَجُلٍ منهمْ، فَدَلَكَ بهَا وجْهَهُ وجِلْدَهُ، وإذَا أمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أمْرَهُ، وإذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ علَى وَضُوئِهِ، وإذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وما يُحِدُّونَ إلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا له، وإنَّه قدْ عَرَضَ علَيْكُم خُطَّةَ رُشْدٍ فَاقْبَلُوهَا.

Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datangnya Budail bin Warqaa’ al Khuzaa’i bersama beberapa orang dari kaumnya Khuza’ah, dan mereka ini adalah orang-orang yang dipercaya Rasulullah (dapat menyimpan rahasia dan amanah) dari penduduk tihaamah.

Lalu Budail berkata: “Sungguh aku tinggalkan Ka’ab bin Lu’ai dan ‘Amir bin Lu’ai tinggal di sekitar sumber air Hudaibiyah dan bersama mereka harta. Wanita dan anak-anak mereka dalam keadaan siap memerangimu dan mencegahmu dari Ka’bah”.

Maka Rasulullah ﷺ berkata,”Kami datang bukan untuk berperang, namun kami datang untuk berumrah. Sungguh Quraisy telah menjadi lemah dan rugi karena perang. Maka jika mereka ingin, aku akan menawarkan gencatan senjata beberapa waktu dan membiarkan urusanku dengan orang-orang. Maka jika aku menang, bila mereka ingin memeluk apa yang orang lain memeluknya (beragama), mereka bisa kerjakan. Dan kalau tidak menang, maka mereka telah beristirahat dari peperangan. Apabila mereka menolak (tawaran ini), maka demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tentu akan aku perangi di atas agama ini sampai bahuku terpisah (aku terbunuh), dan Allah pasti akan mewujudkan perintahnya.”

Lalu Budail berkata: “Saya akan sampaikan kepada mereka apa yang engkau sampaikan”.

Perawi berkata: Lalu Budail berangkat sampai mendatangi Quraisy, ia berkata: “Aku telah mendatangi kalian dari lelaki tersebut, dan kami telah mendengar pernyataannya. Jika kalian ingin, kami sampaikan kepada kalian, kami akan lakukan”.

Maka orang bodoh mereka berkata: “Kami tidak butuh engkau memberitahukan hal itu”.

Sedangkan tokoh mereka berkata: “Silahkan beritahu apa yang telah engkau dengar dari pernyataannya”.

Budail berkata,”Aku mendengar ia berkata demikian dan demikian,” lalu Budail menyampaikan kepada mereka pernyataan Nabi ﷺ . Lalu Urwah bin Mas’ud bangkit dan berkata: “Wahai, kaum! Bukankah kalian orang tua?”

Mereka menjawab,”Ya.”

Ia berkata lagi,”Bukankah aku ini anak kalian?”

Mereka menjawab,”Ya.”

Ia berkata lagi: “Apakah kalian meragukanku?”

Mereka menjawab,”Tidak!”

Ia berkata lagi: “Bukanlah kalian mengetahui, bahwa aku telah memerintahkan penduduk ‘Ukaadz untuk berperang. Ketika mereka menolaknya, maka aku mendatangkan keluarga dan anakku, serta orang yang mentaatiku?” Mereka menjawab,”Ya.”

Ia berkata lagi: “Sungguh, orang itu telah menawarkan kepada kalian perkara yang baik, maka terimalah dan biarkanlah aku menemuinya”.

Mereka menjawab,”Datangilah!” Lalu Urwah mendatangi Rasulullah ﷺ , dan mulailah ia berbicara kepada Nabi ﷺ , lalu Nabi ﷺ menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail.

Maka Urwahpun, ketika itu berkata : “Wahai, Muhammad. Bagaimana pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu, apakah engkau pernah mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh keluarganya sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang dan aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan meninggalkanmu”.

Maka Abu Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan meninggalkannya?

Maka Urwahpun menyahut: “Siapa itu?”

Mereka menjawab: “Abu Bakar,” lalu Urwah berkata,”Seandainya bukan karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang) menghalangiku, tentu aku akan menjawab (pernyataan)mu ini.”

Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah ﷺ . Setiap kali berbicara, maka ia memegangi jenggot Rasulullah. Dan al Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi ﷺ membawa pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga setiap kali Urwah menggerakkan tangannya ke arah jenggot Nabi ﷺ , maka al Mughirah memukulnya dengan gagang pedang, dan berkata: “Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah ﷺ ,” lalu Urwah pun mengangkat kepalanya dan berkata: “Siapa ini?”

Mereka menjawab,”Al Mughirah bin Syu’bah,”maka Urwah pun berkata: “Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan (kejelekan) pengkhianatanmu?”

Memang, dahulu pada zaman Jahiliyah, al Mughirah pernah menemani satu kaum, lalu membunuh dan merampok harta mereka, kemudian datang masuk Islam, lalu Nabi ﷺ berkata: “Adapun Islammu aku terima, sedangkan harta itu bukan urusanku”.

Kemudian Urwah mulai memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua matanya. Ia berkata,”Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak, kecuali mengenai satu telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya ke wajah dan kulitnya. Dan jika beliau ﷺ memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jila beliau ﷺ berwudhu, maka mereka seakan-akan berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka. Mereka tidak memandang langsung Rasulullah karena mengagungkannya,” lalu Urwahpun pulang menemui teman-temannya dan berkata: “Wahai, kaum! Demi Allah! Sungguh aku pernah menemui para raja, menemui kaisar, kisra dan Najasyi. Demi Allah! Tidak pernah aku melihat seorang pun raja yang diagungkan para sahabatnya seperti para sahabat Muhammad kepada Muhamad. Demi Allah! Tidaklah keluar dahak darinya, kecuali mengenai telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya di wajah dan kulitnya. Jika ia memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Jika ia berwudhu, mereka seakan-akan berperangmemperebutkan air sisa wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka serta tidak memandang langsung kepadanya karena mengagungkannya. Sungguh ia telah menawarkan kepada kalian kebaikan, maka terimalah!” 18

Kita lihat, betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah ﷺ . Mereka wujudkan kecintaan tersebut dalam amalan nyata. Di antaranya dengan melaksanakan seluruh perintah beliau ﷺ , merendahkan suara di hadapannya dan bersikap takdim di depan beliau ﷺ . Kisah ini dilihat dan dipersaksikan langsung oleh musuh beliau waktu itu.

Bagaimana dengan kita kaum Muslimin sebagai pengikut beliau ﷺ ? Tentu menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan cinta kepada Nabi ﷺ dalam realitas kehidupan sehari-hari. Semoga Allah سبحانه وتعالى memudahkan kita mengikuti tauladan tercinta, Rasulullah Muhammad ﷺ . Wabillahit taufiq. (Redaksi).T

Footnote:

  • HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab فّإن تَابوا وأقاموا الصلاة وآتو الزكاة , hadits no. 25.
  • Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (1/4).
  • Ar Radd a’lal Akhnaa’i, hlm. 231. Dinukil dari kitab Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf (1/289).
  • HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
  • Diringkas dari Huquq an Nabi (1/301-318).
  • Dinukil dari Huquq an Nabi (1/301-302).
  • HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 13.
  • HR al Bukhari, kitab al Aimaan an an Nudzur, Bab Kaifa Kaanat Yamiin an Nabi, no. 6632.
  • HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Halaawat Iman, no. 16.
  • HR al Bukhari, kitab al Adab, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no. 6171 dan Muslim, kitab al Bir wa as Silah, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no. 4775.
  • At Tuhfah al ‘Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat ar Rusyd, hlm. 373.
  • Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. PertamaTh. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid, hlm. 205.
  • Huquq an Nabi (1/289) dengan sedikit perubahan.
  • HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
  • Huquq al Nabi (1/291).
  • Lihat Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al Furqaan, UEA, hlm. 163
  • Huquq an Nabi (1/294).
  • HR al Bukhari, kitab asy Syuruth, Bab Syurut fil Jihad, no. 2529.

Maraji‘ :

  • Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah.
  • Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf.
  • At Tuhfah al ‘Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah, tahqiq Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat ar Rusyd.
  • Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al Furqaan, UEA.
  • Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid.

Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/hakikat-cinta-nabi/